Sabtu, 27 Agustus 2011

Selayang Pandang Gubug Makan Mang Engking (GMME)

Siapa yang kini tidak mengenal Restoran Mang Engking? Restoran yang terkenal dengan menu udang bakar madu.  
Engking Sholikhin atau yang lebih dikenal dengan Mang Engking, adalah pemilik dari restoran khas berbuansa alam dengan ciri gubug-gubug di atas kolam budidaya udang dan ikan air tawar. Mang Engking berasal dari Tasikmalaya. Berawal dari kehidupan yang sangat sederhana, di tahun 1996, Mang Engking dan beberapa anggota keluarganya hijrah ke Yogyakarta untuk mengembangkan keahliannya dalam bidang budidaya udang dan ikan air tawar. Sebelum hijrah, Mang Engking yang lulusan SD, sudah berprofesi sebagai pembudidaya udang dan ikan air tawar sejak tahun 1988. Ilmu budidaya tersebut dia dapat secara turun-menurun dari keluarganya. Namun dari keahliannya tersebut, kebutuhan akan hidup kurang dapat terpenuhi apabila ia tidak keluar dari Tasikmalaya.
Di awal 1997, ia mulai membina beberapa petani di sekitar tempat tinggalnya di daerah Sleman, Yogyakarta untuk belajar membudidayakan udang galah yang kemudian hasilnya dipasarkan ke Cilacap. Dikarenakan pembayaran yang tidak lancar, maka Mang Engking beralih memasarkan udang galah tersebut ke Bali sebagai pasokan supermarket dan restoran. Setelah terjadinya tragedi bom Bali I, ia cukup kesulitan memasarkan udang galahnya masuk ke Bali. Selain itu sistem pembayaran dirasa sudah tidak cocok lagi, sehingga pada akhirnya ia mencoba memasarkannya sendiri.
 
Awal Mula Restoran Mang Engking
Ketika berprofesi sebagai pembudidaya udang dan ikan air tawar, secara tidak sengaja banyak orang yang suka memancing ke kolam Mang Engking. Mereka senang sekali menghabiskan waktu luang hingga larut. Hingga pada suatu ketika mulailah orang ingin makan udang sambil memancing untuk mengisi perut mereka yang kosong. Untuk memenuhi permintaan tersebut, istri dari Mang Engking yang bisa memasak seadanya ala "wong ndeso" (bukan bergaya modern) harus memasak di rumah dan mengantarkan pesanan tersebut ke kolam yang jaraknya cukup jauh. Dan pada akhirnya mulailah muncul gubug-gubug di atas kolam budidaya tersebut saking banyaknya permintaan yang sama. Dari sinilah ia mulai mencoba memasarkan sendiri udang galah dan ikan gumareh, yang hingga saat ini menjadi menu unggulan Mang Engking setelah terjadinya tragedi bom Bali I.
 
Suatu ketika ada seorang turis asing berkewarganegaraan Jerman yang datang dan bermain selama beberapa hari, turis tersebut merancangkan sebuah gubug dan memberinya uang sebesar Rp 300.000 yang kemudian meminta Mang Engking membuatkan gubug sesuai rancangannya. Model gubug rancangannya cukup unik, yaitu dengan mempertahankan model gubug asli (bernuansa alam di desa), dia merancang "Gubug Berlobang", yaitu gubug yang berlobang pada bagian meja. Hal tersebut sangat berguna bagi orang yang senang duduk lesehan, namun menginginkan kaki tetap bisa leluasa (tidak ditekuk). Model meja tersebut cukup menarik dan hingga kini masih dipertahankan Mang Engking.
 

 
Kesukses dalam usaha budidaya udang dan ikan air tawar, dikarenakan Mang Engking selalu terbuka terhadap tamu dan sering berbagi kepada orang yang ingin belajar tanpa meminta bayaran. Berkat kebaikan tersebut, maka usaha Mang Engking mulai dikenal dari mulut ke mulut, hingga dalam waktu 6 bulan restoran Mang Engking booming tanpa pernah melakukan promosi. Berangsur-angsur gubug-gubugnya sudah tidak dapat mengikuti perkembangan tamu/pelanggan lantaran saking banyaknya, sehingga untuk memperbesar kapasitas usahanya Mang Engking membuka cabang di beberapa kota lain. Hingga kini, Mang Engking sudah mempunyai 4 cabang, yaitu di Soragan, Yogyakarta; Pandaan, Pasuruan Jawa Timur; Depok Jawa Barat; dan Semarang.
 
Konsep restoran yang dibangunnya adalah berkonsepkan alam. Baik lokasi dikampung maupun di perkotaan, ia tetap konsisten dengan gubug-gubug di atas kolam-kolamnya. Ada hal yang cukup menarik di restoran cabang Depok yang berkapasitas 500 org dan berlokasi di dalam Universitas Indonesia. Ia bekerja sama dengan salah satu guru besar Universitas Indonesia ingin membuat konsep universitas di kota namun syarat dengan konsep alam. Hal tersebut diwujudkan dengan konsep restorannya. Hal tersebut menarik orang untuk berkunjung ke Universitas Indonesia walaupun hanya untuk mampir ke restoran Mang Engking. Hingga banyak orang berduyun-duyun datang dan jika pengunjung benar-benar ingin merasakan udang khas Mang Engking, ia harus pesan minimal 3 hari sebelumnya, jika tidak mereka tidak akan kebagian. Untuk di moment tertentu seperti lebaran, dll, pelanggan harus pesan minimal 5-10 hari sebelumnya.
 
Sebetulnya, dalam memperlebar usahanya, Mang Engking lebih banyak dibantu oleh Mang Ade, adik kandung Mang Engking dalam mengelola perusahaannya. Mang Ade adalah seorang sarjana teknik sipil UGM, yang sempat bekerja di sebuah perusahaan konsultan PT. Puser Bumi. Mang Ade bergabung sejak Mang Engking membuka resmi Restorannya di tahun 2003, dikarenakan begitu banyak permintaan dan tidak ada yang bisa mengelola restoran tersebut (dari 16 bersaudara, satu-satunya yang mengenyam pendidikan tinggi).
 
Sebagian besar karyawan restoran Mang Engking berasal dari daerah sekitar dan dari daerah asal Mang Engking, yaitu Tasikmalaya, dengan pendidikan rata-rata SD-SMP. Mang Engking sangat terbuka kepada orang-orang sekitar yang ingin bekerja di restorannya walaupun tingkat pendidikannya yang tidak tinggi. "Kami menampung mereka, karena kesempatan seperti ini jarang mereka dapatkan", ujar Mang Ade.
 
Restoran Mang Engking memang mengambil kelas menengah ke atas, dikarenakan Mang Engking mempunyai standar tinggi terhadap udang-udang hasil budidayanya. Ia mempunyai cita rasa yang tinggi terhadap menu-menu masakan dan konsisten terhadap standar tinggi yang dipatoknya tersebut. Walaupun restorannya sudah mempunyai pangsa pasar yang tinggi, ia tetap saja tidak ingin memenuhi kebutuhan pasarnya dengan udang-udang yang bukan berasal dari kolam budidayanya. Misalnya udang dari Kalimantan yang cenderung dibudidayakan dengan cara cepat panen. Itu salah satu hal yang membuat orang rela untuk pesan jauh-jauh hari demi mendapatkan udang fresh dengan bumbu alam dalam menu andalan udang bakar madu Mang Engking.
 
 
Untuk menjaga cita rasa yang konsisten di cabang-cabang luar kota, setiap sebulan sekali Mang Ade dan istri akan datang mengkontrol. Memang agak sulit untuk menjaga cita rasa yang konsisten, dikarenakan yang memasak sampai saat ini masih istri Mang Engking dan istri Mang Ade. Istri-istri mereka memasak menggunakan insting (tidak pakai takaran), sehingga tidak semua orang mudah untuk diajarkan, hanya yang bertalian saudara yang mampu mentransfer ilmu-ilmu kulinernya. Pernah suatu ketika dicoba melatih orang-orang yang tidak ada hubungan saudara, hanya berlangsung dua minggu karyawan tersebut tidak bisa mengikuti standar rasa yang konsisten dan akhirnya diganti.
 
Rencana pengembangan perusahaan ke depan antara lain dengan memperbanyak restoran dan memperluas bidang budidaya udang. Sudah kurang lebih 2 tahun ini Mang Engking melakukan riset budidaya udang paname (udang laut). Untuk memperlebar usahanya di luar Yogyakarta, Mang Engking lebih memilih berpartner. Ada hal yang unik, yaitu sebelum Mang Engking membuka cabang barunya, syarat yang utama adalah mendidik petani lokal di sekitar lokasi calon cabang tersebut, hingga mereka mampu memproduksi sesuai standar udang Restoran Mang Engking. Hal tersebut tidaklah mudah, sebagai contoh sudah satu tahun ini ia akan membuka cabang barunya di Taman Buah Mekar Sari (bekerja sama dengan keluarga Soeharto), namun belum terealisir karena petani lokal di sana belum mampu.
 
Ada nasehat bagi para wirausahawan pemula, "Yang penting berani mulai, urusan diselesaikan di perjalanan", begitu kata Mang Ade di akhir percakapan kami.